Sabtu, 24 November 2012

Breaking down part 2

NI AKU POS KAN TENTANG BREAKING DOWN

REVIEW : THE TWILIGHT SAGA: BREAKING DAWN - PART 2


"I thought we would be safe forever. But "forever" isn't as long as I'd hoped." - Bella

Tidak ada franchise yang beranjak dari novel berseri yang lebih fenomenal ketimbang The Twilight Saga. Bagaimana tidak, dari sejumlah franchise yang mengambil sumber dari karya sastra, hanya kisah percintaan terlarang antara manusia dan vampir ini yang mampu mengumpulkan basis massa dan pembenci dalam jumlah yang sama besarnya. Ketika salah satu seri dilempar ke bioskop, para penggemar dengan segera berbondong-bondong menyesaki bioskop seolah itu adalah satu-satunya hari dimana film tersebut diputar sementara ‘haters’ memenuhi linimasa dengan segala nyinyiran dan cibiran terbaik mereka untuk seri ini. Anda tidak akan menemukan segala kehebohan ini dalam Harry Potter, The Hunger Games, apalagi The Lord of the Rings. Dan, franchise yang fenomenal ini pun telah memasuki edisi terakhirnya dalam The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II. Layaknya seri penutup dari penyihir remaja asal Inggris, seri penutup dari ‘sparkling vampire’ ini pun sejatinya dibuat untuk satu film yang kemudian diputuskan untuk dipecah menjadi dua demi memuaskan hasrat ‘fans’ yang tentunya mengharapkan perlakuan istimewa sebelum berpisah dengan sang idola. Saya sesungguhnya cukup penasaran dengan cara Bill Condon menutup franchise yang jilid terakhirnya ini mengusung tagline yang terbilang berani, ‘the epic finale that will live forever’. Akankah The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II menjadi sebuah penutup yang epik atau malah justru anti-klimaks? 
Melanjutkan dari apa yang berakhir di jilid pertama, Bella Swan (Kristen Stewart) telah bertransformasi menjadi vampir yang memungkinkan dia untuk menjalani kehidupan pernikahan yang ‘happily ever after’ bersama Edward Cullen (Robert Pattinson). Setelah ‘the never ending intercourse’ di film sebelumnya yang sungguh melelahkan, akhirnya penonton mendapatkan sajian konflik yang sesungguhnya di seri pamungkas ini. Putri Bella dan Edward, Renesmee (Mackenzie Foy) mengalami pertumbuhan fisik secara cepat dan tidak wajar. Irina (Maggie Grace), salah satu anggota dari keluarga Denali yang melihat Renesmee kala tengah menikmati udara segar bersama Bella dan Jacob Black (Taylor Lautner), mengira Renesmee adalah ‘anak abadi’. Mengingat ini melanggar hukum vampir yang diciptakan oleh Volturi, maka Irina pun menghadap ke Aro (Michael Sheen) dan melaporkan perbuatan keluarga Cullen. Mengetahui bahwa Volturi segera menyerang Cullen berdasarkan penglihatan dari Alice (Ashley Greene), maka Carlisle (Peter Facinelli) pun mengutus keluarganya mengumpulkan kerabat-kerabat mereka dari seluruh dunia untuk bersaksi di depan Volturi bahwa Renesmee bukanlah ‘anak abadi’. 

Dengan mudah saya bisa mengatakan kepada Anda bahwa Breaking Dawn Part II adalah seri terbaik dari The Twilight Saga. Memang tidak sampai dalam tahapan mengagumkan atau epik seperti yang saya harapkan, akan tetapi Bill Condon mampu menghantarkan franchise ini ke sebuah penutup yang layak. Dengan garis konflik yang tidak lagi bercabang dan cenderung fokus kepada nasib Renesmee, Melissa Rosenberg mampu menata jalinan kisah dengan lebih rapi. Bahkan, untuk sekali ini, berani membelokkan cerita dengan suntikan ‘twist’ pada klimaks yang terbilang cukup mencengangkan. Penonton bersorak sorai antara terkejut, senang, atau bahkan kecewa setelah apa yang sesungguhnya terjadi terungkap. Keberanian dalam menyuguhkan ‘twist’ dan sedikit melenceng dari sumber asli ini menjadi kekuatan utama dari film ini. Baik Condon maupun Rosenberg menyadari bahwa mereka tidak akan mampu menyuguhkan penutup yang sempurna apabila tetap berpegang teguh kepada tulisan Stephenie Meyer dan mempertontonkan kemesraan yang tiada berkesudahan. 
Meski demikian, Breaking Dawn Part II tidak lantas berakhir tanpa meninggalkan kekurangan. Produk ini masih tetap jauh dari kata sempurna. Untuk mencapai sebuah klimaks yang menggetarkan, penonton kudu melalui paruh awal yang... ya, Anda tahu sendiri, sangat The Twilight Saga. Romantisme berlebihan digeber sedemikian rupa di menit-menit awal. Beruntung dosisnya tidak setinggi empat film pertama. Alur pun melaju dengan sangat perlahan, demi memastikan tidak ada bagian penting yang terlewatkan untuk fans. Di paruh ini Anda akan menyaksikan bagaimana Bella berusaha untuk menyesuaikan diri dengan wujud barunya, Charlie Swan (Billy Burke) yang kebingungan melihat Bella, serta sedikit letupan konflik seusai Bella mengetahui bahwa Jacob meng-‘imprint’ Renesmee. Untuk mengurangi rasa bosan, maka humor dan sinematografi indah – walau tak sekuat bagian pertama, dijadikan sebagai penawar. Sayangnya, hal itu tidak membantu banyak. Kesalahan bisa dialamatkan kepada trio Kristen Stewart, Robert Pattinson, dan Taylor Lautner yang hingga film kelima ini masih saja tidak berkembang. Tanpa ekspresi dan tanpa chemistry. Hambar. Untungnya dukungan dari supporting cast – khususnya Michael Sheen yang tampil brilian sebagai Aro – sedikit banyak membantu film dari keterpurukan. 
Setelah awal yang melelahkan dan berpanjang-panjang, secara perlahan eskalasi tensi yang diharapkan oleh penonton sejak menit pertama pun dimunculkan. Bill Condon turut mendengarkan permintaan dari ‘non-fans’. Volturi yang belum sempat unjuk gigi akhirnya memeroleh kesempatan untuk ‘show off’. Breaking Dawn Part II hadir lebih gelap dari jilid sebelumnya dengan adanya kematian, mayat-mayat bergelimpangan, kepala yang terlepas dari tubuh, dan tentunya darah. Sebagian besar adalah hasil ‘kerja keras’ dari Volturi. Ketegangan mencapai puncaknya setelah pertempuran akbar antara pasukan Volturi dan pasukan Cullen dimulai. Seperti yang telah saya sebutkan di dua paragraf sebelum ini, kehadiran ‘twist’ turut menyelamatkan film secara keseluruhan walau efek khusus yang memprihatinkan – terutama penggambaran ‘werewolf’ yang masih saja tidak meyakinkan walau telah diberi suntikan dana berlimpah – cukup mengganggu kenikmatan menonton selain chemistry hambar antara tiga pemain utama dan romantisme yang menggelikan. 
Well, pada akhirnya, apakah saya akan mengatakan bahwa The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II adalah sebuah penutup yang epik? Hmmm... Terlalu berlebihan jika saya menyebutnya epik, saya cukup mengatakan bahwa ini adalah seri terbaik dari franchise ini. Tentu saja tidak sempurna, namun yang jelas, dapat dinikmati dan tidak membuat saya ingin menggantung diri di dalam gedung bioskop atau mencakar muka Bella yang biasanya saya alami kala menyaksikan The Twilight Saga. Bill Condon memang belum mampu memerbaiki kesalahan utama franchise ini yang berkisar pada efek khusus maupun chemistry antar pemain, akan tetapi dia telah berhasil menyuguhkan sebuah perpisahan yang tidak memalukan dengan jalinan penceritaan yang lebih baik, sinematografi yang cantik, dan adegan pertarungan berbalut twist yang cukup mencengangkan. Dan jika Anda bertanya bagaimana dengan deretan lagu yang mengisi album soundtrack-nya? Seperti biasa, jauh mengungguli filmnya. Fans akan keluar dari gedung bioskop dengan senyum terlebar yang pernah mereka tunjukkan kepada dunia, pecinta film akan berdiskusi soal film ini dengan teman atau meng-update status ‘not bad lah’, sementara haters... will always hate.

Note : Kala credit title mulai bergulir, semua tokoh dari Twilight hingga Breaking Dawn Part II dimunculkan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah bersedia menjadi bagian dari keluarga franchise ini. 

TED

TED (2012)

Berada di peringkat ke-9 dalam daftar film dengan pendapatan terbanyak di 2012 bahkan menjadi film komedi dengan rating "R"  berpenghasilan tertinggi adalah pencapaian luar biasa yang didapat oleh Ted. Dibuat oleh Seth MacFarlane yang merupakan creator dari serial Family Guy, bisa diprediksi film ini akan penuh banyak lelucon yang tidak pantas ditonton oleh anak kecil. Ya, jangan biarkan judul dan poster filmnya menipu anda karena Ted adalah tontonan khusus dewasa yang penuh dengan bahasa kasar, lelucon seksual dan penggunaan narkoba. Film yang naskahnya ditulis oleh MacFarlane ini juga akan dibintangi oleh Mark Wahlberg, Mila Kunis dan tentunya MacFarlane sendiri yang mengisi suara karakter Ted. Jadi akan segila apakah Ted? Yang pasti filmnya akan berpusat pada konflik antara romance versus bromance yang sebenarnya sudah sering diangkat dalam berbagai judul film. Film yang berkisah tentang konflik persahabatan dengan hubungan percintaan memang sudah bukan hal baru lagi, tapi apa jadinya jika konflik tersebut dibungkus dalam sebuah komedi dewasa yang menampilkan sosok boneka Teddy yang hidup dan bisa bicara bahkan teler?
Saat kecil, John Bennet (Mark Wahlberg) sama sekali tidak mempunyai teman. Karena itulah pada saat ia mendapatkan sebuah boneka Teddy di hari natal John berharap boneka itu bisa hidup dan menjadi sahabatnya untuk selamanya. Benar saja, harapan itu terkabul dan boneka yang ia beri nama Ted itu secara ajaib benar-benar hidup dan keduanya pun berjanji akan terus menjadi sahabat. Puluhan tahun berlalu dan kini John sudah berusia 35 tahun, bekerja di sebuah penyewaan mobil bahkan mempunyai seorang pacar yang cantik yaitu Lori (Milla Kunis). Sedangkan Ted yang masih tinggal bersama John masihlah Ted yang hidup seenaknya, suka teler dan membawa pelacur ke rumah. Awalnya Lori tidak terlalu mempermasalahkan keberadaan Ted, tapi lambat laun ternyata hal itu makin tidak bisa ditoleransi. Kini John harus memilih antara kekasih yang sudah ia pacari selama empat tahun atau sahabat yang sudah bersamanya selama 27 tahun.

Jika bicara cerita tidak ada hal baru yang disajikan Ted karena film ini masih memakai pakem standar tentang bromance versus romance. Seperti biasa kita akan dihadirkan konflik antara sahabat dengan sang kekasih, lalu kehilangan keduanya dan biasanya sang sahabat akan mencoba mempersatukan cinta sahabatnya, sedikit konflik dalam proses penyatuan lalu kemudian happy ending. Tanpa bermaksud spoiler saya rasa semua penonton sudah bisa menebak akan berjalan kemana alur film ini. Tapi yang membuat Ted lebih spesial adalah konten komedi yang ditawarkan. Seperti yang sudah saya singgung diatas bahwa film ini akan menampilkan berbagai guyonan kotor dan dewasa yang tentunya akan tampil dengan gila-gilaan. Gila-gilaan disini adalah benar-benar gila seperti misalnya adegan pelacur yang buang kotoran di karpet, atau mungkin saat Ted kepergok sedang berhubungan seks dengan rekan kerjanya. Tapi jangan salah, Ted bukan hanya mengumbar lelucon kotor tanpa otak, karena dengan cerdasnya MacFarlane mampu memasukkan berbagai referensi tentang pop culture baik itu dari musik, film hingga hal-hal lainnya dalam film ini. 

Masalahnya adalah tidak semua referensi tersebut dimengerti oleh para penonton. Bagi penonton yang tidak mengerti maka Ted tidak lebih dari sekedar suguhan komedi penuh guyonan dewasa yang kasar. Tapi bagi anda yang mengerti maka Ted adalah sebuah sajian cerdas penuh referensi dari pop culture mulai dari Flash Gordon, National Lampoon hingga Chris Brown dan masih banyak lagi yang disinggung oleh Seth MacFarlane disini, bahkan termasuk adegan dance yang terkenal dari film Airplane! itu (walaupun sayangnya mayoritas penonton di bioskop tempat saya menonton tidak paham referensi itu) Yah tapi sekali lagi seandainya tidak sampai bisa menangkap maksud dari referensi-referensi tersebut, film ini masih tetap punya berbagai amunisi lawakan konyolnya hingga film berakhir. Ya, hingga scene bahkan bisa dibilang gambar terakhir yang munculpun Ted masih tetap sanggup menghadirkan tawa bagi penontonnya.
Jelas bintang utama dalam film ini adalah sosok Ted yang berhasil disuarakan dengan begitu baik oleh MacFarlane sendiri. Yah bukan sebuah pencapaian yang mengejutkan mengingat selama ini juga MacFarlane adalah orang yang mengisi suara Peter di serial Family Guy. Tapi pujian juga patut diberikan kepada duo Wahlberg dan Kunis. Ini bukan pertama kalinya Wahlberg bermain dalam film komedi tapi penampilannya disini tetap mengesankan dan lucu. Momen terbaiknya menurut saya adalah saat ia dan Ted menyanyikan lagu "sahabat petir" dan saat ia terlibat perkelahian dengan Ted yang terlihat seperti ia benar-benar sedang berkelahi sungguhan. Bagaimana Milla Kunis disini? Masih menawan seperti biasa dan ia selalu bisa terlihat lucu tanpa harus menjadi konyol secara berlebihan. Tanpa mengecilkan peranan Wahlberg dalam membangun chemistry, yang saya lihat selama ini adalah Milla Kunis memang ahlinya untuk membangun chemistry dengan lawan main walaupun itu adalah peran yang sifatnya komedi sekalipun. Bagi saya Ted tidaklah selucu yang dikatakn orang, tapi harus diakui ini adalah sebuah komedi yang lumayan dan termasuk cerdas.

SKYFALL



Lima puluh tahun sudah berlalu sejak Sean Conery memperkenalkan line ikonik "My name is Bond, James Bond" di layar lebar dan sekarang franchise sang agen rahasia 007 sudah sampai pada nomor 23. Setelah di-reboot lewat Casino Royale pada 2006 lalu, sosok James Bond memang sudah mengalami banyak perubahan. Tidak ada lagi Bond yang flamboyan seperti versi Brosnan, karena Bond versi Craig jauh lebih kasar dan lebih brutal. Dari segi fisik juga Craig berbeda dibanding para pendahulunya dimana ia menjadi Bond pertama yang berambut pirang. Tapi segala keraguan tersebut dibantahkan lewat Casino Royale yang mampu tampil luar biasa. Sekali lagi sutradara Martin Campbell berhasil menghidupkan franchise Bond yang sempat nyaris mati seperti yang pernah ia lakukan lewat GoldenEye bersama Pierce Brosnan dulu. Setelah sempat mengalami penurunan kualitas dalam Quantum of Solace kali ini bertepatan dengan perayaan 50 tahun rilisnya Dr. No (film pertama James Bond), Daniel Craig kembali memerankan sosok sang agen rahasia meskipun produksi film ke-23 ini sempat mengalami hambatan disaat MGM mengalami kebangkrutan dan membuat Skyfall baru bisa rilis empat tahun setelah film sebelumnya (biasanya film Bond rilis tiap dua tahun sekali).
Skyfall punya jajaran pemain dan sutradara yang kuat. Untuk kursi sutradara ada Sam Mendes yang sebenarnya lebih terkenal lewat drama-drama depresif macam American Beauty atau Revolutionary Road. Tapi semenjak pemilihan Daniel Craig sebagai Bond yang ternyata tepat meski sempat diragukan saya sama sekali tidak meragukan pemilihan Sam Mendes, karena pasti ada alasan tertentu dibalik keputusan tersebut. Sementara itu untuk sosok villain ada Javier Bardem yang akan menjadi lawan dari Craig. Untuk Bond Girl ada dua aktris yang bermain yaitu Berenice Marlohe dan Naomie Harris. Selain itu ada juga Ralph Fiennes dan tentu saja Judi Dench yang kembali melanjutkan perannya sebagai M. Skyfall dibuka dengan sebuah adegan dimana Bond dan rekannya, Eve (Naomie Harris) sedang menjalankan misi di Turki untuk mendapatkan sebuah hard drive yang berisi data tentang agen-agen yang tengah melakukan misi penyamaran. Disaat sedang bertarung dengan lawannya, secara tidak sengaja Bond justru terkena tembakan yang dilepaskan oleh Eve. Bond yang terjatuh ke sungai dinyatakan hilang dan dianggap telah tewas. Menghilang beberapa lama, akhirnya Bond kembali disaat dia mendengar kabar bahwa kantor MI6 mendapat serangan bom yang menewaskan beberapa agen, dan mengancam nyawa M.

Setelah adegan action sequence pembuka yang cukup menegangkan, Skyfall dilanjutkan dengan sebuah opening yang sangat keren dimana kita akan disuguhi berbagai adegan dengan sentuhan animasi keren dan diiringi oleh lagu Skyfall yang dinyanyikan oleh Adele. Rangkaian visual kelam nan keren makin terasa menghipnotis berkat lantunan suara Adele pada akhirnya menjadikan pembukaan ini begitu luar biasa layaknya film-film David Fincher. Adegan "kematian" Bond yang disusul oleh opening yang begitu terasa gelap tersebut nampaknya jadi sebuah pertanda bahwa Skyfall akan jauh lebih kelam daripada film-film Bond sebelumnya bahkan Casino Royale sekalipun. Pada akhirnya memang hal tersebut terbukti, dimana pemilihan Sam Mendes sebagai sutradara memang ada maksudnya. Skyfall bukan hanya sebuah film Bond biasa. Ini adalah sebuah penghormatan bagi sejarah panjang franchise 007 dan sebuah eksplorasi lebih jauh dalam dunia yang telah terbangung selama 50 tahun tersebut. Sam Mendes berhasil menciptakan sebuah suasana yang gelap, lebih intim namun tidak pernah kehilangan sentuhan-sentuhan khas film Bond karena notabene Skyfall juga menjadi penghormatan terhadap film-film sebelumnya.
Pengalaman saya dalam menonton film Bond memang belum terlalu banyak, namun sampai saat ini saya belum pernah menyaksikan film Bond dengan aura sekelam Skyfall. Konflik dan ancaman yang muncul dari sang villain terasa jauh lebih mengancam secara personal dan membuatnya lebih menegangkan. Satu hal lagi yang membedakan Skyfall dengan film-film Bond sebelumnya adalah eksplorasi tentang latar belakang tiap karakternya yang jauh lebih luas. Ambil contoh mudah, sebelum ini tidak ada film Bond yang menyoroti masa lalu sang agen rahasia sedalam yang dilakukan Skyfall. Disini James Bond masih seperti yang kita kenal sebelumnya (versi Craig) hanya saja sosoknya jauh lebih mendalam mengingat kita akan diajak menengok ke masa lalu Bond, jauh sebelum dia menjadi agen rahasia, disaat dia masih bocah dan pada akhirnya membuatnya menjadi Bond yang sekarang. Selain itu sosok M yang dimainkan Judi Dench mendapatkan screen time yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Sosoknya pun turut mendapat eksplorasi lebih jauh tentang konflik batin yang ia rasakan sebagai pimpinan MI6.
Tapi pada dasarnya ini adalah film Bond yang tentunya tidak terlepas dari adegan aksi. Mau sebagus apapun eksplorasi karakternya kalau adegan aksinya melempem maka filmnya jadi mengecewakan. Tapi ternyata Sam Mendes tidak hanya berhasil dalam meramu porsi drama dalam film ini, karena berbagai adegan aksi yang ada mampu tampil spektakuler dan juga menegangkan. Lihat saja mulai dari adegan diawal, kejar-kejaran Bond dan Silva yang berujung spektakuler saat sebuah kereta terjatuh dan nyaris menimpa Bond sampai tentunya adegan klimaksnya yang tidak hanya seru, menegangkan namun juga begitu kelam dan personal tersebut. Pengemasan klimaksnya adalah salah satu klimaks terbaik dalam film Bond, dimana hal tersebut tidak terlepas dari lokasi tempat klimaks tersebut berada. Sam Mendes mampu meramu bagaimana supaya adegan aksinya mampu terasa mengena bagi penonton. Mungkin porsinya tidak begitu banyak dan ada dibawah Quantum of Solace dari segi kuantitas, namun dari segi kualitas adegan aksi di Skyfall tidaklah terasa kosong dan asal seru. Tentu saja itu semua masih dibalut dengan gambar-gambar indah mulai dari pemandangan Turki sampai Skotlandia di akhir film yang makin menambah suasana dingin dan gelap.
Skyfall bukan hanya sebuah installment bagus dari James Bond, tapi juga penuh dengan penghormatan dan momen klasik. Sebut saja penggunaan mobil Aston Martin DB5 yang dulu muncul di Goldfinger (1964) hingga referensi vodka-martini yang seperti biasa muncul hanya saja sekarang dengan line yang beda dari Bond. Beberapa tokoh ikonik yang sempat menghilang dalam dua film terakhir juga dimunculkan, seperti sosok Q yang kali ini menjadi lebih muda dan dimainkan oleh Ben Whishaw sampai Miss Moneypenny yang harus diakui kemunculannya cukup mengejutkan. Dalam kemunculan pertamanya juga sosok Q sudah melontarkan dialog yang mempunyai referensi terhadap sosok Q di film-film sebelumnya (pulpen sebagai bom?) Sementara itu sosok Gareth Mallory yang dimainkan Ralph Fiennes juga meninggalkan kesan kuat dimana dia nantinya akan mempunyai peran penting dalam kelanjutkan franchise ini. Tapi tentunya penghormatan paling kentara diberikan pada Judi Dench sebagai M yang dengan film ini sudah tujuh kali memerankan karakter tersebut semenjak tahun 1995 lewat GoldenEye. Dengan waktu muncul yang jauh lebih banyak juga membuat Judi Dench mampu memunculkan akting terbaiknya. Craig juga makin menyatu dengan sosok Bond yang ia mainkan. Tapi tentunya screen stealer di film ini adalah Javier Bardem. Sejak pertama kali muncul sosoknya sudah menghipnotis. Seorang gila yang menyimpan dendam kesumat dan melampiaskannya lewat aksi gila namun jenius.
Kalau ada yang kurang dari Skyfall, itu adalah sosok Bond Girls yang punya porsi jauh lebih minim dibanding film-film sebelumnya. Mungkinkah akibat konflik yang jauh lebih kelam Bond sedang tidak punya waktu bermain-main terlalu banyak dengan wanita di film ini? Durasi 143 menit juga membuat saya sedikit kebosanan di pertengahan film. Tapi pada akhirnya Skyfall jelas menjadi salah satu film Bond terbaik yang pernah saya tonton dan menjadi salah satu film aksi terbaik tahun ini. Disaat installment Bourne melempem tahun ini dan sekuel Taken ternyata jauh lebih buruk dari film pertamanya, sosok James Bond kembali menjadi action hero nomor satu. Tapi sesungguhnya Bond bukan sekedar action hero, setidaknya setelah saya melihat film ini saya beranggapan seperti itu. Saya mengamini jika Mendes mengatakan bahwa Skyfall mendapat perlakuan sama seperti The Dark Knight melihat bagaimana sang tokoh utama diperlakukan dan melihat sosok antagonisnya. Jauh lebih mendalam, lebih kelam, lebih personal dan penuh dengan penghormatan terhadap installment sebelumnya, Skyfall sukses memuaskan saya dan menjadi film aksi terbaik tahun ini.

Jumat, 23 November 2012

Film yang gua benci Selama ini

TWILIGHT







Dlu waktu premiere pertama yang film pertama ane agak ilfil ma film ini......adegan fightingnya hampir gak memuaskan....love story nya aneh....tp pemandangan di film tuch sungguh bagus
di film yg kedua ku semakin ilfillllllll apa lagi muncul yg namanya joseph klo gak salah,,,,,udah pemeran wanitanya yang namanya bella tu gak konsisten kadang ciuman ma joseph kadang ma cullen.....dalam segi agama aja udh keterlaluan masa cewek kyk gitu tingkahnya.,.tp Nah loh di kenyataannya bukan di film doang si Kristen stewart ini juga suka Selingkuh hadeeeeehhhhh.................
gitu koq ya di sukai sama kaum hawa Indonesia

MEGAMIND Resensi film yg menyentuh

Megamind mempunyai beberapa momen yang lucu, pronounce yang unik, dan referensi sosio politik. Tetapi film ini tidak terlalu "dihargai" karena menampilkan sosok penjahat sebagai pahlawan.
Megamind (suara oleh Will Ferrell) adalah seorang yang "dari sananya" menjadi pahlawan. Dilahirkan di planet yang jauh dengan kepala biru bulat, dia dikirim saat masih bayi untuk menemukan takdirnya di bumi. Dia mendarat di sebuah penjara, dibesarkan oleh para kriminal yang mengajarinya kejahatan. Pada waktu yang sama,
bayi yang lain juga diberangkatkan untuk tujuan yang sama. Tetapi dia dibesarkan oleh orangtua yang kaya dan penuh kasih dan tumbuh sebagai Metro Man (Brad Pitt), pahlawan bagi Metro City.

Ferrell, denagn warna suara yang pas, adalah pilihan tepat untuk karakter Megamind. Dengan bagus dia menirukan gaya Marlon Brando sebagai Jor-El dan memberikan kelucuan di dalamnya. Begitu juga Pitt yang memiliki elemen tepat sebagai Metro Man.

Ada juga tokoh Roxanne Ritchi (Tina Fey) sebagai seorang reporter ala Lois Lane yang ditaksir oleh Megamind dan Metro Man. Juga ada Hal (Jonnah Hill), seorang juru kamera yang juga menyukai Roxanne.

Ketika Megamind terlihat bisa mengalahkan Metro Man, dia malah menjadi bingung dan bosan. Apa yang bisa dilakukan seorang penjahat tanpa ada jagoan yang harus dilawan? Jadi Megamind menciptakan sendiri musuh pengganti. Dia menyuntikkan DNA Metro Man ke tubuh orang pertama yang ditemuinya:Hal. Dari sinilah cerita mulai memuncak.

Animasi yang digunakan Megamind cukup atraktif, terutama versi 3D-nya. Cerita yang amat familiar berhasil membuat Megamind menjadi tidak membosankan walaupun konsep penjahat/pahlawan agak unik.

Sutradara : Tom McGrath
Skenario : Alan J. Schoolcraft, Brent Simons
Pengisi Suara : Will Ferrell, Jonah Hill, Brad Pitt, Tina Fey